Makalah
KONSEP DAN IMPLEMENTASI
MUDHARABAH DAN AKAD LAINNYA PADA ASURANSI SYARIAH
Diajukan untuk memenuhi tugas materi: Koperasi Dan
Asuransi Syariah
Dosen pengampu: Fadlan, M.A.
KELOMPOK: 4
Khairunnas
Kholilurrahman
Moh. Ali Makki
Moh. Eko Febriyanto
PRODI HUKUM
EKONOMI SYARI’AH
FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT ILMU KEISLAMAN
ANNUQAYAH (INSTIKA)
GULUK-GULUK SUMENEP JAWA TIMUR 69463

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Dalam literatur keislaman asuransi termasuk sesuatu hal
yang langka dan
jarang ditemukan dalam buku-buku yang membahas tentang ekonomi islam. Asuransi
sebagai suatu bentuk kontrak modern tidak dapat terhindar dari
akad yang membentuknya. Hal ini dalam praktiknya asuransi melibatkan dua orang atau lebih yang terikat oleh perjanjian untuk saling
melaksanakan kewajiban. Sebagai manusia tidak lepas dari hubungan dengan orang
lain dalam rangka memenuhi kebutuhannya. Hubungan antara satu manusia dengan
manusia lain dalam memenuhi kebutuhan harus terdapat aturan dan kesepakatan.
Proses dalam membuat kesepakatan keduanya disebut dengan akad. Adapun mengenai
praktik asurasi dalam pandangan merupakan akad yang berkaitan dalam hal proses
analogi hukum terhadap praktik
operasional asuransi.
Asuransi syariah
dalam pengertian muamalah adalah saling memikul resiko diantara sesama peserta,
sehingga antara satu dengan yang lain menjadi penanggung atas resiko yang
muncul. Saling pikul resiko ini dilakukan atas dasar saling tolong-menolong
dalam kebaikan salah
satunya bisa dengan cara
masing-masing mengeluarkan dana tabarru’
(dana kebajikan/derma) yang ditujukan untuk menanggung resiko.
Perusahaan
asuransi syariah bertindak sebagai mudharib, yaitu pihak yang diberi
kepercayaan atau amanah oleh para peserta sebagai shahibul maal untuk mengelola
uang premi dan mengembangan dengan jalan yang halal sesuai dengan syar’i serta
memberikan santunan kepada yang mengalami musibah sesuai dengan akad.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana Akad Mudharabah Pada Asuransi Syariah?
2.
Bagaimana Akad Tabarru’ Dalam Asuransi?
3.
Bagaimana Akad Tijarah Dalam Asuransi?
C. TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk Mengetahui Akad Mudharabah Pada Asuransi Syariah;
2.
Untuk Mengetahui Akad Tabarru’ Dalam Asuransi;
3.
Untuk Mngetahu Akad Tijarah Dalam Asuransi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MUDHARABAH PADA ASURANSI
SYARIAH
Mudharabah
berasal dari kata dharb yang artinya memukul atau berjalan. Istilah ini
biasa dipakai oleh penduduk Irak, sementara penduduk Hijaz lebih suka
menggunakan istilah qirodh atau muqaradhah. Dalam kaitannya dengan
muamalah, kata dharb disini lebih tepat diartikan pada proses seseorang
memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Sedangkan secara teknis, mudharabah
didefinisikan sebagai akad kerja sama antara dua pihak dimana pihak pertama
(shahibul maal) menyediakan 100% modal sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib).
Apabila dalam usahanya diperoleh keuntungan (profit) maka keuntungan tadi
kemudian dibagi antara shahibul maal dan mudharib dengan presentase nisbah atau rasio
yang telah disepakati sejak awal perjanjian/kontrak. Sedangkan apabila usaha
tersebut merugi maka kerugian tersebut akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak
shahibul maal sepanjang hal itu disebabkan oleh risiko bisnis (bussiness risk)
dan bukan karena kelalaian mudharib (character risk).
Akad mudharabah ini
berbeda dengan sistem bunga (interest) mengingat sifat pengembalian (return)
yang tidak pasti baik dari segi jumlah maupun segi waktu sehingga akad ini
dikategorikan sebagai Natural Uncertainty Contract (NUC). Dalam bahasa lain,
produk ini disebut juga dengan Trust Financing atau Trust Investment karena kontrak
ini hanya diberikan kepada pengusaha yang benar-benar credible dan sudah teruji
amanahnya. Secara skematis, akad mudharabah dapat digambarkan sebagai berikut :
Landasan Syariah
1.
Al-Qur’an
“Tidak ada dosa (halangan) bagi kamu untuk
mencari karunia Tuhanmu” (QS. Al Baqarah ayat 198).
2.
Al-Hadits
Dari Shalih bin
Suhaib ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkahan : jual beli secara
tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk
keperluan rumah, bukan untuk dijual” (HR. Ibnu Majah).
Aplikasi Mudharabah dalam Bisnis
Asuransi Syariah
Penerapan akad
mudharabah dalam bisnis asuransi syariah dapat dilihat dalam 2 bidang usaha
asuransi yaitu asuransi jiwa (life insurance) dan asuransi kerugian (general
insurance). Perbedaan karakteristik bisnis antara kedua jenis usaha terVsebut menyebabkan
penerapan akad mudharabah menjadi berbeda meskipun secara prinsip tetap mengikuti
kaidah konsep mudharabah dimana para peserta asuransi berkedudukan sebagai
shahibul maal (pemilik modal) dan perusahaan bertindak sebagai mudharib
(pengelola).
1.
Asuransi Jiwa Syariah
Dalam bisnis asuransi syariah, secara umum peserta
asuransi syariah tidak memberikan syarat tertentu yang membatasi tentang cara
pengelolaan dana sehingga akad ini dikategorikan sebagai mudharabah mutlaqah.
Sedangkan dalam posisinya sebagai mudharib di satu sisi dan shaibul maal di
sisi yang lain maka asuransi syariah layaknya bank syariah “melaksanakan
mudharabah kedua”. Kemudian dana peserta yang terkumpul akan diinvestasikan ke
dalam instrumen investasi syariah dan apabila ada keuntungan (profit) maka
hasilnya akan dibagikan kepada peserta dan perusahaan berdasarkan nisbah atau
rasio yang telah disepakai di awal perjanjian, misalnya 50:50, 70:30, dan
sebagainya.
Dalam asuransi jiwa syariah terdapat dua
rekening peserta yaitu : (1) Rekening Tabungan (Participant Account) dan (2)
Rekening Khusus (Participant Special Account). Pemisahan rekening tersebut
dilakukan guna menjawab permasalahan ketidakjelasan (gharar) pada praktek
asuransi konvensional dari sisi pembayaran klaim. Misalnya seorang peserta
mengambil paket asuransi jiwa sebesar Rp 10 juta dengan masa pertanggungan 10
tahun. Bila ia ditakdirkan meninggal dunia di tahun ke-4 dan baru sempat
membayar Rp 4 juta maka ahli waris akan menerima sejumlah penuh Rp 10 juta.
Pertanyaannya, sisa pembayaran sebesar Rp 6 juta diperoleh dari mana. Disinilah
kemudian timbul ghara sehingga dalam sistem asuransi syariah diperlukan
mekanisme untuk menghapus gharar tersebut dengan menyediakan rekening khusus
untuk pembayaran klaim (rekening ini disebut juga dengan rekening tabarru). Akad yang
diberlakukan dalam rekening khusus ini adalah transaksi atau perjanjian kontrak
yang bersifat non profit sehingga tidak boleh digunakan untuk tujuan komersial.
Dengan demikian idealnya semua dana tabarru maupun hasil investasinya (apabila
dana tabarru tersebut ikut diinvesatiksan) tidak dibagihasilkan kepada peserta maupun
pengelola, namun menjadi ‘dana abadi’ dalam Rekening Khusus.
2.
Asuransi
Kerugian Syariah
Dalam praktek asuransi kerugian syariah, pengembalian sebagian premi ke nasabah
dalam bentuk surplus sharing sekilas mirip dengan mekanisme dalam asuransi
konvensional yang dikenal dengan istilah “No Claim Discount (NCD)”. Sebagai
contoh, seorang pemegang polis asuransi kendaraan disebuah perusahaan asuransi
konvensional akan mendapatkan discount pada saat polis tersebut kembali
diperpanjang di tahun berikutnya (dengan syarat selama masa pertanggungan tidak
mengajukan klaim). Dari kacamata asuransi syariah, mekanisme discount seperti
ini tentu saja berbeda dengan mudharabah karena NCD hanya diberlakukan apabila
si pemegang polis hendak memperpanjang polisnya. Dalam asuransi syariah, hak
mudharabah tetap dibayarkan kepada peserta meskipun ia tidak memperpanjang
polis. Dengan demikian, NCD dan bagi hasil bisa diterapkan sekaligus di
asuransi syariah, namun tidak bagi asuransi konvensional.
B. IMPLEMENTASI AKAD TABARRU’
DALAM ASURANSI
Tabarru’ berasal dari kata tabarra-yatabarru-tabarrau’an, yang
artinya sumbangan atau derma. Orang yang menyumbang disebut mutabarri
(dermawan). Tabarru’ bermaksud memberikan dana kebajikan secara ikhlas untuk
tujuan saling membantu satu sama lain sesama peserta asuransi, ketika diantara
mereka ada yang mendapat musibah. Tabarru’ disimpan dalam rekening khusus.
Apabila ada yang tertimpa musibah, dana klaim yang diberikan adalah dari
rekening tabarru’ yang sudah diniatkan oleh sesama takaful untuk saling
menolong.[1]
Dengan akad tabbaru’ berarti peserta asuransi telah melakukan persetujuan
dan perjanjian dengan perusahaan asuransi untuk menyerahkan pembayaran sejumlah
dana (premi) ke perusahaan agar dikelolah dan dimanfaatkan untuk membantu peserta
lain yang kebetulan mengalami kerugian. Akad tabarru’ ini mempunyai tujuan
utama yaitu terwujudnya kondisi saling tolong-menolong antara peserta asuransi
untuk saling menanggung (tafakul) bersama. Yang mana apabila ada salah satu
dari peserta takaful atau peserta asuransi syariah mendapat musibah, maka
peserta lainnya ikut menanggung resiko, dimana klaimnya dibayarkan dari
akuntansi dana tabarru’’ yang terkumpul. Surplus dana tabarru’ pada beberapa
praktik asuransi syariah, dikembalikan sebagian peserta melalui mekanisme
mudharabah (bagi hasil). Mekanisme dan akad yang mendasari pengembalian melalui
mekanisme mudharabah masih banyak terdapat perbedaan pendapat dikalangan
ulama’.[2]
Ketentuan hukum tabarru’ meliputi:
1.
Akad Tabarru’ merupakan akad yang harus melekat pada semua produk asuransi.
2.
Akad Tabarru’ pada asuransi adalah semua bentuk akad yang dilakukan antar
peserta pemegang polis.
Ketentuan akad tabarru’ dalam asuransi syari’ah, yaitu:
1.
Akad Tabarru’ pada asuransi adalah akad yang dilakukan dalam bentuk hibah
dengan tujuan kebajikan dan tolong-menolong antar peserta, bukan untuk tujuan
komersial.
2.
Dalam akad Tabarru’, harus disebutkan sekurang-kurangnya:
·
hak & kewajiban masing-masing peserta secara individu;
·
hak & kewajiban antara peserta secara individu dalam akun tabarru’
selaku peserta dalam arti badan/kelompok;
·
cara dan waktu pembayaran premi dan klaim;
·
syarat-syarat lain yang disepakati, sesuai dengan jenis asuransi yang
diakadkan.
Berikut ini adalah kedudukan para pihak dalam akad tabarru’ pada asuransi
syari’ah:
1.
Dalam akad Tabarru’, peserta memberikan dana hibah yang akan digunakan
untuk menolong peserta atau peserta lain yang tertimpa musibah.
2.
Peserta secara individu merupakan pihak yang berhak menerima dana tabarru’
(mu’amman/mutabarra’lahu, مؤمّÙ†/متبرَّع له) dan secara kolektif selaku penanggung (mu’ammin/mutabarri’-
مؤمّÙ†/متبرِّع).
3.
Perusahaan asuransi bertindak sebagai pengelola dana hibah, atas dasar akad
Wakalah dari para peserta selain pengelolaan investasi.
Pengelolaan dana tabarru’ pada asuransi syari’ah:
1.
Pembukuan dana Tabarru’ harus terpisah dari dana lainnya.
2.
Hasil investasi dari dana tabarru’ menjadi hak kolektif peserta dan
dibukukan dalam akun tabarru’.
Dari hasil investasi, perusahaan asuransi dapat memperoleh bagi hasil berdasarkan
akad Mudharabah atau akad Mudharabah Musytarakah, atau memperoleh ujrah (fee)
berdasarkan akad Wakalah bil Ujrah.
Terdapat implementasi akad tabarru’ dalam praktek asuransi syariah saat ini yaitu:
1.
Asuransi syariah yang dalam prakteknya memberikan bagi hasil (mudharabah)
apabila terjadi surplus dana tabarrru’ merujuk kepada sistem yang diterapkan di
Syariat Takaful.
2.
Asuransi syariah yang tidak membagikan dengan alasan bahwa tabarru’ adalah
dana yang sudah diikhlaskan tolong-menolong, peserta tidak perlu mengharapkan
pengembalian apa-apa lagi keuali mengharapkan kebaikan pahala dari Allah.
Implementasi akad tabarru’ dalam sistem asuransi syariah direalisasikan
dalam bentuk pembagian setoran premi menjadi dua. Untuk produk yang mengandung
unsur tabungan (saving), maka premi yang dibayarkan akan dibagi ke dalam
rekening dana peserta dan satunya lagi rekening tabarru’. Sedangkan untuk
produk yang tidak mengandung unsur tabungan (non saving), setiap premi yang
dibayar akan dimasukkan seluruhnya ke dalam rekening tabarru’.
C. IMPLEMENTASI AKAD TIJARAH
DALAM ASURANSI
Akad Tijarah adalah segala macam perjanjian. Ada beberapa akad tijarah yang
digunakan dalam praktik asuransi syariah yaitu : Akad Wakalah, Akad Wadi’ah,
Akad Musyarakah, Akad Mudharabah. Akad-akad ini dalam praktiknya
diimplementasikan dalam beberapa perusahaan asuransi syariah di Indonesia.
Misalnya asuransi syari’ah pasa produk-produk saving menggunakan akad wadi’ah.[3]
1.
Akad Wakalah
Wakalah berarti menyerahan, pendelegasian, atau
pemberian mandat. Dalam bahasa Arab, hal ini dapat dipahami sebagai at-tafwidin.
Jadi wakalah merupakan pelimpahan wewenang atau kuasa dari pihak pertama kepada
pihak kedua untuk melaksanakan sesuatu atas nama pihak pertama dan untuk
kepentingan dan tanggung jawab sepenuhnya oleh pihak pertama. Dalam hal ini
pihak kedua hanya melaksanakan sesuatu sebatas kuasa atau wewenang yang
diberikan oleh pihak pertama. Apabila kuasa itu telah dilaksanakan sesuai dengan
yang disyaratkan.
Akad wakalah dapat kita lihat juga pada asuransi
umum dalam mekanime pengelolaan dananya menggunakan akad wakalah. Premi
tertanggung yang terkumpul sebagai dana tabarru’ diserahkan kepada perusahaan
asuransi sebagai pengelola melalui akad wakalah, dan selanjutnya perusahaan
asuransi terhadap perusahaan re-asuransi mengunakan akad tabaduli. Antara
peserta dan perusahaan asuransi akan terjadi bagi hasil manakala dalam
operasional terdapat keuntungan atau surplus usaha.
2.
Akad Wadi’ah
Al wadi’ah dapat diartikan dengan meninggalkan atau meletakkan yaitu meletakkan
sesuatu pada orang lain untuk dipelihara atau dijaga. Sedangkan menurut
istilah, al-wadi’ah adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga
hartanya / barangnya dengan secara terang-terangan atau isyarat dengan makna
itu. Dalam prinsip wadi’ah yang diterapkan adalah wadiah yad dhamanah
yaitu dimana pihak yang dititipi bertanggung jawab atas keutuhan harta titipan
sehingga ia boleh memanfaatkan harta titipan tersebut. Dan bukan wadiah amanah
yaitu pada prinsipnya harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh orang
yang dititipi.[4]
Dalam praktik asuransi syariah menggunakan akad
wadiah . dana yang terkumpul dari nasabah berupa premi dititipkan kepada
perusahaan asuransi untuk dikelola seperti halnya akad wadiah yang ada di bank
syariah, hanya saja dalam asuransi mengandung unsur asuransi dengan nilai
pertanggungan sesuai yang diperjanjikan. Dewan Pengawas Syariah (DPS) Asuransi
Mubarokah Syariah memandang bahwa akad wadi’ah merupakan akan yang tepat baik
bagi sisi nasabah (shohibul maal) maupun perusahan asuransi (pengelola).[5]
3.
Akad Musyarakah
Musyarakah adalah perjanjian antara dua belah
pihak atau lebih dalam suatu usaha tertentu. Masing-masing pihak akan
memberikan kontribusi dengan kesepakatan, jika ada keuntungan atau kerugian
masing-masing pihak akan mendapat margin dan menaggung resiko. Pada hakekatnya
bentuk kerjasama dalam asuransi adalah bentuk kerjasama yang dilandasi oleh
prinsip musyarakah dimana ada pihak yang punya modal dan ada pihak lain yang
hanya memiliki tenaga kerja dan skill serta profesionalisme.
Transaksi musyarakah dilandasi dengan adanya keinginan para pihak
yang ingin bekerja sama untuk meningkatkan nilai aset yang mereka miliki secara
bersama-sama. Yakni semua bentuk usaha yang melibatkan dua belah pihak atau
lebih dimana mereka secara bersama-sama memadukan seluruh sumber daya yang ada.
4.
Akad Mudharabah
Mudharabah adalah pemilik harta memberikan kepada
mudharib orang yang bekerja atau pengusaha suatu harta supaya dia mengelola
dalam bisnis dan keuntungan dibagi diantara mereka berdua mengikuti syarat yang mereka buat.
Dalam rangka untuk menghindari praktik riba, maka
implementasi mudharabah pada takaful keluarga (asuransi jiwa) dapat diihat misalnya
pada perhitungan rate premi. Cara perhitungan dengan asumsi bunga tetap diganti
dengan skim mudharabah (bagi hasil), demikian juga dalam skim-skim investasi
dan perhitungan surplus underwriting. Penentuan hak atas dana hasil
investasi produk saving dan hak atas dana dari produk non saving semuanya bebas
dari bunga dan sebagai gantinya digunakan instrumen mudharabah. Dengan
demikian, takaful keluarga dalam sistem dan operasionalnya bersih dari praktek
riba.
Berikut ini adalah rukun mudharabah menurut Syafi’i Antonio:
a.
Pemodal (shohibul maal)
b.
Pengelola (mudharib)
c.
Modal (maal)
d.
Nisbah keuntungane.
e.
Sighat (aqd).[6]
BAB III
KESIMPULAN
F Akad pada operasional asuransi syariah dapat
didasarkan pada akad tabarru’, yaitu akad yang didasarkan atas pemberian dan
pertolongan dari satu pihak kepada pihak yang lain.
F Ada juga
akad lain dapat diterapkan dalam bisnis asuransi adalah
akad mudharabah , yaitu satu bentuk akad yang didasarkan pada prinsip profit
dan loss sharing atas untung dan rugi, dimana dana yang terkumpul dalam total
rekening tabungan dapat di investasikan oleh perusahaan asuransi yang risiko
investasi ditanggung bersama antara perusahaan dan nasabah.
F Dalam implementasi akad
tijarah yang digunakan dalam asuransi syariah adalah akad wakalah, akad
wadi’ah, akad musyarakah, akad mudharabah.
F Dalam praktik asuransi
syariah juga terdapat wadiah. Yaitu, dana yang terkumpul dari nasabah berupa
premi dititipkan kepada perusahaan asuransi untuk dikelola seperti halnya akad
wadiah yang ada di bank syariah, hanya saja dalam asuransi mengandung unsur
asuransi dengan nilai pertanggungan sesuai yang diperjanjikan.
F Terdapat implementasi akad tabarru’ dalam
praktek asuransi syariah saat ini yaitu
:
o Asuransi syariah yang dalam prakteknya
memberikan bagi hasil (mudharabah) apabila terjadi surplus dana tabarrru’
merujuk kepada sistem yang diterapkan di Syariat Takafu.
o
Asuransi
syariah yang tidak membagikan dengan alasan bahwa tabarru’ adalah dana yang
sudah diikhlaskan tolong-menolong, peserta tidak perlu mengharapkan
pengembalian apa-apa lagi keuali mengharapkan kebaikan pahala dari Allah.
Implementasi akad tabarru’ dalam sistem asuransi syariah
direalisasikan dalam bentuk pembagian setoran premi menjadi dua. Untuk produk
yang mengandung unsur tabungan (saving), maka premi yang dibayarkan akan dibagi
ke dalam rekening dana peserta dan satunya lagi rekening tabarru’. Sedangkan
untuk produk yang tidak mengandung unsur tabungan (non saving), setiap premi
yang dibayar akan dimasukkan seluruhnya ke dalam rekening tabarru’.
DAFTAR PUSTAKA





Komentar
Posting Komentar